Saya adalah penikmat segala jenis media yang berasal dari negeri mata hari terbit. Mulai dari literatur, komik sampai film, semuanya saya lahap habis. Mau bagaima lagi, semua orang tau seberapa pandai orang Jepang bikin cerita yang menarik. Apalagi dengan berbagai refrensi kehidupan romantis di era feudal Jepang yang susah dan penuh tantangan. Kehidupan berdarah seorang tentara militer samurai. Malam-malam panas para pelacur di distrik merah Kyoto. Pastinya, orang Jepang gak akan kehabisan material untuk diceritakan.
Makanya, saya, secara jujur, mendeklrasikan diri sebagai salah satu dari sekian banyak orang yang keras menkritik media orientalis. Dalam konteks ini, saya memaknai media orientalis sebagai segala media berbau ketimur-timur-an yang diproduksi oleh orang-orang kulit putih. Seperti Geisha (2005), dan Shogun (2024), yang baru-baru ini menang Emmy. Sebuah media yang ditulis dengan tangan kedua, menurutku, akan sulit untuk menggapai esensi ekslusif yang hanya bisa diketahui oleh tangan pertama.
Sentimen serupa pernah dikatakan Denzel Washington, dalam sebuah wawancara yang ia lakukan bersama Karen Hunter, pembawa acara Urban View dari Radio SiriusFM, untuk promosi film Fences (2016), yang distrudarai sendiri oleh si aktor. Fences adalah pada mulanya adalah sebuah pertunjukan teater yang ditulis oleh August Wilson. Dalam sebuah essay, yang ia tulis pada tahun 1990, ia berpesan, kalau-kalau Fences diadaptasi menjadi film, ia hanya akan setuju apabila film tersebut nantinya bakal diproduksi oleh seorang sutradara berkulit hitam. Hunter bertanya, mengapa pesan ini begitu penting bagi Washington sendiri. "Ini bukan soal warna kulit, tapi soal budaya." jawab sang aktor, "Steven Spielberg bikin Schneider's List, Martin Scorsese bikin Godfellas. Sebenarnya Steven Spielberg bisa saja bikin Godfellas. Martin Scorsese mungkin bisa bikin Schieneder's List sama bagusnya. Tapi, ada perbedaan kultur yang hanya bisa diketahui masing-masih sutradara ituS," jelasnya.
Ketulusan dan kebringasan tangan pertama itu saya rasakan dalam tiga puluh menit pertama Blue Eye Samurai. Seorang Samurai dengan pakaian murahan, topi jerami, dan kacamata berlensa oranye masuk ke sebuah warung soba. Pesan semangkuk, berusaha makan dengan tenang, bahkan ketika terjadi keributan. Penjual soba pada awalnya mengira samurai itu cuma ronin yang kelaparan, sampai Ia membawa diri dalam pertengkaran sengit ditengah warung sambil bertanya tentang sebuah nama. Nama yang bikin bulu kuduk orang merinding. Cipratan darah, jari yang putus, dan semangkuk soba panas. Guendeng! Sudah lama aku cari cerita samurai yang segila ini!
Taigen (Darren Barnett) dan Mizu (Maya Erskine) |
Blue Eye Samurai bercerita tentang Mizu (Maya Erkinse), seorang ronin blasteran Portugis yang sedang mencari Abijah Fowler (Kenneth Branagh), satu dari empat orang Portugis yang tersisa di Jepang. Atas arahan Shogun, Jepang pada waktu itu telah menutup akses masuk para antek asing ke dalam negeri. Namun, ada empat orang Portugis yang masih tersisa. Mizu menduga salah satu dari empat orang Portugis itu mungkin adalah ayah biologisnya. Pria hidung belang yang telah menghamili Ibunya, dan membuat hidup mereka sengsara. Berbekal pedang yang ditempa dari logam meteor, Mizu, meninggalkan Bapak Asuhnya, Eiji Sang Penempa Pedang (Cary-Hiroyuki Tagawa), untuk membalaskan dendamnya pada Fowler.
Cerita tentang pembalasan dendam. Untuk veteran japanese-wanna-be sepertiku, wah, banyak sekali media-media samurai bertema sama yang pernah aku baca atau tonton. Samurai X, Vagabond, Blade of The Immortal, 47 Ronin, Yojimbo, saya hampir tahu semuanya. Apa yang bikin dia beda dengan karya-karya sebelumnya? Apakah ini bisa jadi sebuah penggambaran epik yang setia dengan budaya aslinya?
Tentu bisa. Bebeda dengan media-media bertemakan Samurai yang saya sebutkan sebelumnya, Mizu, si karakter utama kita, bukanlah seorang pria. Rupa-rupanya, Ia adalah wanita yang dipaksa berpakaian seperti pria, sebagai bentuk perlindungan diri, dari rundungan pribumi fasis yang membenci orang-orang blasteran.
Bicara tentang wanita dalam media bertema aksi. Seringnya kita disodorkan karakter-karakter seperti Mikaela di Transformers, Elektra di Dare Devil, atau Pamela Anderson di Barb Wire. Hadir cuma sebagai pemanis, jarang kelihatan turut beraksi, dan kalaupun iya, secara ajaib, tak pernah kotor ataupun berdarah. Mizu berbeda. Ia tampil sebagai karakter utama yang beringas, tak kenal ampun, dan ugal-ugalan. Ia membunuh orang dengan sekali tebas. Rela berdarah, asal tujuannya tercapai. Mizu merasakan amarah dan dilema serupa yang dirasakan karakter-karakter sejenis dalam film-film samurai lain, meskipun dia bukanlah seorang pria.
Akemi (Brenda Song) sedang berdiskusi untuk membentuk aliansi atas namanya. |
Pokoknya kamu nggak akan pernah menemukan depiction yang off tentang karakter dari golongan manapun di cerita ini. Hadirnya Mizu sebagai perempuan yang perkasa tidak semerta-merta bikin karakter perempuan lain, seperti Akemi yang strategis, teratur, dan feminim, tersingkirkan.
Bagaimana dengan ceritanya? Epik atau sekedar main-main? Wah, bukan lagi. Kebencian Mizu kepada Fowler seperti hidangan somen. Soba yang disajikan bersama kuah dari sumber air pegunungan Jepang yang dingin dan mentah. Gila dan tanpa ampun. Kebencian mengebu-ebu yang mengingatkan saya kepada salah satu dari empat film favorit saya, Kill Bill (2023). Kekerasan brutal, dikemas dengan gairah erotis, yang sama sekali tidak menobjektifikasi subjek-subjek didalamnya. Tambah nikmat, dipakein bumbu-bumbu romansa tragis yang bikin sempak basah--hehe. Gaya penceritaanya pun juga solid, meskipun sering bolak balik dari masa lalu ke masa kini. Namun, boleh dikatakan, bahwa gaya penceritaan maju mundur ini malah bikin final fight antara Fowler dan Mizu makin jadi.
Penceritaan yang setia dan patuh dengan budaya asli ini bukan terjadi secara kebetulan. Blue Eye Samurai lahir dari otak brilian, Amber Noizumi dan Michael Green. Amber Noizumi adalah seorang perempuan dengan darah campuran Jepang-Amerika. Dalam wawancaranya dengan ScreenRant, Noizumi mengatak bahwa Blue Eye Samurai adalah sebuah cerita tentang pengelaman pribadinya sebagai seorang perempuan berdarah campuran, "...Terjebak diantara dua dunia, bingung mau berpihak kepada siapa...," ungkapnya. Tidak heran, apabila Mizu dan epos balas dendamnya mampu mengetuh hati saya sebagai penonton. Karena Blue Eye Samurai adalah keberingasan yang ditulis oleh tangan pertama.
Comments
Post a Comment