Tahun 2003 silam, Emha Ainun Nadjib pernah menulis artikel untuk menanggapi carut-marut konflik Raja Dangdut dengan budaya goyang ngebor yang 'katanya' dilekasi Inul. Tajuknya pun gak kalah panas; Pantat Inul Adalah Wajah Kita Semua, tulisnya. Dalam artikel itu, Emha mencolek Sang Raja Dangdut, sebagai figur Bapak dari masyarakat dangdut yang adalah anak asuhnya. Ketidaksetujuan Bapak Dangdut atas perilaku nge-bor Inul dianggap Emha sebagai perilaku yang tergesa-gesa dan tidak bijaksana. Karena sesungguhnya goyang nge-bor nya si Inul adalah rekapitulasi budaya dangdut yang sadar atau tidak sadar sudah dibiarkan Raja Dangdut untuk tumbuh dalam Kerajaannya. Kemana si Bapak Dangdut sewaktu budaya ini marak di pelosok tanah air? Kenapa seakan-akan baru sadar akan keberadaannya ketika goyang Inul nge-top? Sebenarnya yang dimusuhi itu goyangnya atau kenge-top-annya? Kemana perginya kepedulian itu ketika industri dangdut kita yang kapitalistik ini memupuk budaya goyang aurat?
Hari ini, tajuk yang sama ingin saya layangkan ke Mentri Agama kita, Husein Muhammad, yang baru-baru ini mengkritik anak muda dengan kata-kata yang lumayan menggelitik. Husein menghimbau agar para anak muda segera menikah secara sah, jangan kumpul kebo, burung di angkasa saja berpasangan. Kalimat itu mungkin menjadi himbauan yang baik saja kalau yang menyampaikan orang biasa macam saya, tapi kalo yang ngomong sekelas Menag, apalagi yang sekaliber Husein Muhammad—kok, agak-agaknya, kureng ya.
Pasalnya orang secerdas beliau harusnya bisa membaca, tren anak muda ogah kawin ini nggak muncul secara tiba-tiba. Ini mesti hasil dari faktor ini-itu yang dibiarkan terpupuk baik sengaja atau tidak sengaja, sampai akhirnya jadi nge-top. Persis goyang nge-bor-nya Inul.
Perlu jenengan semua ketahui, Kementrian Agama itu bukan Kementrian ecek-ecek. Lungsuran dana dari APBN Masa Presiden Prabowo untuk Kementrian ini aja, jadi yang terbesar nomor tiga. Mereka pun membawahi banyak urusan. Termasuk didalamnya Pendidikan Agama di Madrasah-Madrasah—dari yang semikro Madrasah Diniyah sampai semakro PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri) serta Layanan Sosialisasi dan Penerangan Urusan Agama lewat Kantor Urusan Agama (KUA) di Kecamatan-Kecamatan. Lewat layanan-layanan ini harusnya instrumen pemerintah seperti Kementrian Agama bisa melakukan lebih dari sekedar 'menghimbau'. Urusan himbau-menghimbau biar kita-kita masyarakat biasa aja yang melakukan. Pemerintah yang punya kontrol lebih, silahkan lakukan manuver yang lebih-lebih, yang barangkali bisa betul-betul menyentuh hati para anak muda. Masa yang dilakukan hanya sebatas Bimbingan Perkawinan saja, yang pelaksanaannya kadang hanya sehari dua hari. Praktek ini jadi hanya sekedar acara simbolistik wejang-wejangan yang barangkali cuma masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.
Kemudian, apa sebenernya yang bikin anak muda ogah kawin? Banyak. Tapi menurut hemat penulis, waktu, barangkali, jadi alasan utama. Menikah, penulis maknai bukan hanya sekedar fase hidup. Menikah adalah sebuah aksi yang kita lakukan ketika kita menemukan seseorang yang tepat untuk diajak membangun bahtera rumah tangga untuk bersama-sama mengarungi samudera kehidupan. Untuk menemukan orang semacam itu, kita tentu perlu bertemu dan mengenal terlebih dahulu. Untuk mengenal seseorang kita perlu waktu. Dan waktu, hari gini, sepertinya bukan hal yang bisa semua orang punyai.
Kenapa waktu jadi kelangkaan? Karena sebagian besar dipakai untuk hal lain. Seperti.... cari duit. Atau.... hal-hal lain yang dianggap lebih penting. Tapi, meskipun hal-hal tadi dianggap lebih worth the time daripada cinta-cintaan, nyatanya anak muda masih pengen juga. Buktinya? Tuh, kata Menag, masih pada suka kumpul kebo. Soalnya mau gimana lagi, hidup itu perkara susah, adalah sebuah keniscayaan buat manusia untuk menginginkan seseorang yang dengan sukarela mau memikul beban hidup ini bersama-sama dengan cuma-cuma. Sayangnya, lagi-lagi, ketiadaan waktu bikin keinginan itu jadi sekedar fantasi belaka. Tapi apa yang bisa kita lakukan soal ini? Pada kenyataannya sebagian besar waktu kita memang habis untuk keperluan lain yang lebih kasil atau bahasa gaulnya, lebih pragmatis. Bukan salah siapa-siapa, juga. Karl Marx pernah bilang bahwa kapitalisme pada dasarnya selalu menyakiti kapitalis itu sendiri. Dalam masyarakat kapitalis yang menganggap materi sebagai nilai, hakekat nilai itu sendiri jadi melemah. Maka, jika sistem terus dibiarkan berjalan seperti ini, kemiskinan nilai harusnya bukan jadi hal yang mengagetkan.
Cinta kini jadi dianggap sebagai currency. Tak lagi unconditional sebagaimana Tuhan mengasihi hambanya. Cinta model jaman now sudah berubah jadi kondisional, yang apa-apanya melibatkan materi. Sama seperti rumah dan emas, cinta tuh sekarang jadi barang mewah. Konsep donatur dilarang ngatur, misalnya, yang menggagap laki-laki hanya pantas berhubungan kalau sudah ada materi yang cukup untuk menjadi provider. Cinta dianggap tidak ada, dan tidak penting jika tidak diwujudkan secara materi. Dan apabila cintanya tidak diwujudkan secara materi, maka ia menjadi tidak nyata. Walhasil, kontribusi dalam hubungan yang tidak melahirkan materi bakal dipandang sebelah mata. Sehingga muncul konsep bahwa pasangan stay-at-home yang meminta kontribusi pasangannya-yang-provider dalam urusan domestik sebagai 'ikut-ikutan standar tiktok.'
Inilah yang kita tuai dari masyarakat kita hari ini. Dibiarkannya negeri kita menjadi negara yang sekular, despite topeng religiusnya. Dijadikannya bumi pertiwi kita ladang kapitalisme yang menilai segalanya, termasuk cinta secara pragmatis, despite masyarakat kita yang kehausan keintiman. Maka ketika Menag Hussein menyindir anak muda yang ogah kawin, beliau hanya melihat permukaanmya saja, persis seperti Raja Dangdut yg memusuhi nge-bor Inul, tanpa melihat ekosistem yang membesarkannya. Hari ini cinta kami yang pragmatis, pernikahan yang ditunda, dan kumpul kebo yang jadi solusi bukan sekedar kelakuan kami. Melainkan fenomena yang kita biarkan tumbuh. Inilah wajah masyarakat kita hari ini.
Comments
Post a Comment