I am big fan of MCU--even not as BIG as Chandraliow did tho. Makanya nggak pernah ada ceritanya aku nggak nonton film besutan Marvel (ngomong gini padahal belum nonton Deadpool, Venom, belum khatam nonton Agent Carter, dia bahkan baru tau Jean Grey selingkuh sama Logan kemarin lusa) But at least, I knew that so far they said, "Infinity War is the best superhero movie that Marvel ever made." Meh, I don't call it! Mereka seenaknya bilang begitu, seolah-olah lupa terhadap film yang membuat publik sempet kecewa karena enggak menang di Oscar. Mereka seakan-akan nggak lagi ingat kalau film ini bahkan digadang-gadang--oleh para reviewer film--sebagai film superhero paling berdarah sepanjang masa--dan emang benar adanya. Mereka sudah sepenuhnya lali, sensasi sedih yang menggrayangi ketika James 'Logan' Howlett pergi, bahkan ketika mereka (dalam hal ini aku) nggak begitu kenal siapa dia.
Memang, film ini nggak banyak menyuguhkan CGI megah, scene fight penuh adegan mencengangkan, apalagi pemandangan teknologi super advanced. Film ini bukan sebuah bingkai dari bagaimana normalnya film superhero berjalan. Apa bagusnya gitu, seorang mantan anggota X-Men, yang sekarang sudah tua dan ringkih, tinggal di rumah mengenaskan, merawat mantan pimpinanya Professor Charles 'X' Xavier--yang menderita alzheimer--bersama seorang kawan sesama mutan rangkap tukang bantu-bantu bernama Calliban--dimana untuk mencukupi kebutuhan hidup ia sebagai 'tulang punggung keluarga' harus jadi driver taxol. Seharusnya film ini nggak lebih menarik dong, dari film yang menggabungkan banyak tokoh superhero untuk mengalahkan satu supervillian seperti Infinity War? Tapi mengapa judul entrinya 'Kenapa Logan masih Yang Terbaik, Bahkan Setelah Infinity War'.
Remember, besides the superpower, the advanced technology, the brave, the-all-stuff-that-superheroes-must had, they are still a human being. Elemen inilah yang nggak dimiliki Infinity War. Yang bahkan nggak dimiliki film superhero lain. Segala kekesalan, keputusasaan, keblingsatan yang tergambar dalam Logan seakan membawa kita back to reality. Bahwa hidup selamanya nggak semudah diserang-lawan balik-menang. Rasanya giris melihat salah satu superhero terkaya di MCU, Charles Xavier hanya punya dua orang yang datang ke pemakamannya (pemakaman yang di Logan ya bukan yang di The Last Stand). Rasanya kepengen nangis ketika meratapi mutan sekelas Logan yang kini hanya tinggal nama mengumpat-umpat menghadapi kenyataan hidup. I'm like--what's this? after allllll this time, after all the war they fought to defend humanity, this is all they got? too shame ya Tuhan, too shame.
Kedatangan X-23, Laura, sebagai putri Logan banyak membuat penonton lama tertawa getir. Karena selama menonton seri X-Men mereka pasti sulit membayangkan Logan yang tukang ngumpat, egois, perhitungan dan tempramen jadi seorang bapak. Apalagi anaknya, anak perempuan. Serius. Lebih bisa ngebayangin Tony Stark punya anak ketimbang Wolverine. Pria tua itu benar-benar kaku menghadapi sang putri, bahkan sekali-kali aku dibuat mengumpat karena kelakuanya yang sama sekali nggak pantas terhadap Laura--such us hampir menelantarkan anak itu ditengah hutan, mengumpat didepannya, dan bahkan melimpahkan semua kesalahan atas kemalangan yang seolah enggan berhenti menimpa mereka.
Porsi adegan berdarahnya-seperti yang kubilang di awal. Bener-bener brutal. Ini kayak nonton John Wick, cuma heronya nggak main pake pistol tapi cakar adamantium. Malah dalam beberapa scene lebih parah. Tapi berkat kemasan drama yang seimbang dari sang sutradara, brutalnya pembunuhan duo wolverine itu nggak bikin senep, justru menambah sesak di dada.
Ada satu scene sebenarnya. Yang nggak terlalu krusial tapi spesial untukku. Adegan dimana Logan, Charles dan Laura makan bersama keluarga Munson. Scene itu dimulai dari keluarga Munson dan keluarga Howlett (Logan, Charles dan Laura) yang saling berbagi tangan melakukan doa bersama sebelum menyantap makan malam. Percakapan ringan dimulai dari Bu Munson yang bertanya kemana keluaga kecil itu akan pergi. Charles yang berperan sebagai Howlett senior menjawab Oregon sedang Logan si Howlett Junior menjawab Dakota Utara. Charles akhirnya mengkoreksi--mengatakan bahwa mereka akan ke Oregon sebelum akhirnya menuju Dakota Utara. Aku senyum, 'lucu juga nih chemistry mereka'. Kemudian keluarga Munson mulai membicarakan liburan keliling dunia, dan Ned--putra keluarga Munson--begitu setuju dengan ide itu, dia bahkan merasa oke-oke saja kalau karenanya dia harus berhenti sekolah.
Bu Munson nggak setuju, tentu saja. Tapi kemudian Charles bertanya kenapa Ned ingin sekali melakukan itu. Sebelum Ned menjawab rupanya Logan menanggapi, ia bilang Charles dulunya kepala sekolah. Sebuah sekolah berkebutuhan khusus dimana Logan pernah belajar disana juga. Bagian itu terdengar lucu, beneran! Baru kemudian Logan mengelak dengan bilang bahwa dia sering dikeluarkan dari sana. Suasana semakin hangat, ketika Charles menanggapi dengan bilang bahwa aslinya dia mau bilang Logan itu 'good pupil' alias murid teladan tapi sayang dia nggak bisa karena hukum alam mungkin bakal bikin dia keselek karena sudah berbohong. Keluarga Munson tertawa, begitu pula keluarga kecil Howlett. Bukan scene menyedihkan sebenarnya, tapi bound yang dibangun antara Charles dan Logan terasa memuncak disini. Sedikit-banyak membuat aku terharu--ada lah lolos dua-tiga tetes air mata.
Tak hanya hubungan antara Charles-Logan. Hubungan bapak-anak antara Laura dan Logan juga senantiasa dibangun dengan epik. Scene dimana Laura akhirnya bicara setelah hampir dua minggu perjalanan diam adalah faforitku--atau semua orang kayaknya. Logan sebal bukan main ketika tahu Laura ternyata bisa ngomong setelah berhari-hari berdiam diri seolah bisu, ia bahkan bilang pada Pak Munson bahwa anak itu memang sudah bisu dari lahir.
Rupanya si anak enggan bicara sebab merasa tertekan dengan perlakuan Logan padanya--ya maklum sih hahaha. Laura kemudian mengingatkanya pada misi utama Logan, yaitu mengantarkan ia pada teman-temanya di Dakota Utara, tepatnya di sebuah tempat yang dinamai Eden--yang ditemukan pengasuhnya dalam komik X-Men. Logan dengan terbatuk dan bahasa spanyol yang buruk mulai menjelaskan bahwa Eden dan segala tetek bengek yang didapat Laura dari komik semuanya hanya karangan, 'no existo,' katanya. Logan yang kala itu merasa begitu hancur nan bobrok terang-terangan berkata ogah sekali melanjutkan misinya. Sialnya gara-gara itu Laura jadi sebal, ia lalu mulai menggeram dan meninju Ayahnya dengan brutal. Satu hal, memang putri Logan sih kalau begini.
Satu scene lagi terangkum indah, mengakhiri perjalan Logan sebagai Wolverine. Sangat sederhana, karena cara Logan mati adalah cara paling mulia yang bisa seorang Ayah dapatkan. Yaitu mati karena melindungi putrinya. Sedih bercampur senang teraduk-aduk menjadi satu di dada. Senang karena akhirnya penderitaan Logan berakhir, tetapi sedih juga karena padahal dia baru saja bertemu puterinya. Jujur saja, scene kematian Logan memang bukan scene yang mampu membuat kita sebal seharian seperti apa yang dilakukan Infinity War ketika Spider-Man berubah menjadi debu. Tetapi scene yang cuma sebentar itu melibatkan emosi mentah--dimana penonton nggak perlu kenal dekat siapa itu Logan untuk meloloskan air mata. Scene itu semakin menyayat hati ketika sang sutradara mengkonfirmasi, bahwa benar adanya kematian Logan ada sangkut pautnya dengan prediksi Yukio--partner Wolverine di film solo keduanya: The Wolverine (2013)
'I saw you dead. There's blood everywhere You're holding your own heart in your hand'
Comments
Post a Comment