Saya adalah penikmat segala jenis media yang berasal dari negeri mata hari terbit. Mulai dari literatur, komik sampai film, semuanya saya lahap habis. Mau bagaima lagi, semua orang tau seberapa pandai orang Jepang bikin cerita yang menarik. Apalagi dengan berbagai refrensi kehidupan romantis di era feudal Jepang yang susah dan penuh tantangan. Kehidupan berdarah seorang tentara militer samurai. Malam-malam panas para pelacur di distrik merah Kyoto. Pastinya, orang Jepang gak akan kehabisan material untuk diceritakan. Makanya, saya, secara jujur, mendeklrasikan diri sebagai salah satu dari sekian banyak orang yang keras menkritik media orientalis. Dalam konteks ini, saya memaknai media orientalis sebagai segala media berbau ketimur-timur-an yang diproduksi oleh orang-orang kulit putih. Seperti Geisha (2005), dan Shogun (2024), yang baru-baru ini menang Emmy. Sebuah media yang ditulis dengan tangan kedua, menurutku, akan sulit untuk menggapai esensi ekslusif yang hanya bisa diketahui
Industri film dibanjiri banyak sekali orang-orang yang enggak cuma berbakat, tetapi juga sedap dipandang. Memang sih, keelokan fisik didepan kamera merupakan salah satu jobdesk mereka. Hanya saja manusia bukanlah makluk yang sempurna, keelokan rupa dan performa seorang aktor kadang-kadang enggak berjalan selaras. Tetapi hal itu enggak berlaku buat Alain Delon . Lahir dari keluarga yang sama sekali enggak nyeni , Alain bukan seseorang yang mengharapkan bermain peran sebagai mata pencaharian. Alain kecil adalah seorang cowok bandel yang pernah dikeluarkan dari sekolah karena gayanya yang berandal. Setelah orangtuanya bercerai, Alain terpaksa hidup bepindah-pindah dari satu orangtua angkat ke orangtua angkat lain, karena pengambilan hak asuh bersama yang dilakukan kedua orangtuanya selalu berakhir dengan enggak memuaskan. Alain juga sempat bergabung dalam Angkatan Laut Prancis dan berperang di Indochina saat masih berusia tujuh belas. Alain memulai karir aktingnya pada tahun 1957. Ia y